Masa kecilnya dihabiskan di Lansing, Michigan. Keluarganya tinggal di sebuah ladang dengan kondisi yang memprihatinkan. Apalagi setelah ayahnya terbunuh oleh Ku Klux Klan di tahun 1931. Keluarga Little ini berantakan. Ibunya masuk rumah sakit jiwa. Malcolm bersaudara harus tinggal di panti asuhan dan sebagian lagi tinggal di bersama orang lain. Malcolm sendiri sempat empat kali tinggal di empat keluarga berbeda.
Ketika SMP, Malcolm tergolong siswa yang pandai. Bahkan ia bercita-cita ingin menjadi pengacara. Namun, menurut guru Bahasa Inggrisnya, Ostrowski, cita-cita itu sangat tidak realistis bagi seorang anak negro. Gurunya itu menyarankan agar ia mengejar karir sebagai tukang kayu saja. Kenyataan pahit ini membuat Malcolm frustasi. Dengan membawa rasa frustasi itu, pada tahun 1941 ia pindah ke Boston ikut kakaknya seayah yang bernama Ella.
Di Boston ia salah bergaul. Teman barunya, Shorty, mengajaknya menjadi tukang semir sepatu di sebuah balai dansa. Namun, mereka -bersama Sophia, pacar Malcolm yang berkulit putih– punya pekerjaan sampingan sebagai calo dan pelaku kriminal. Mulai dari mecuri hingga menggarong. Bahkan, Malcolm menjadi seorang pecandu narkotika. Sampai kemudian polisi menangkap mereka. Malcolm masuk bui.
Tujuh tahun tinggal di penjara –dari tahun 1946-1952– menjadi berkah bagi Malcolm remaja. Ini titik balik pertama dalam hidupnya. Atas dorongan teman satu selnya, Bimbi, Malcolm remaja belajar membaca dan menulis. Ia melalap buku-buku yang ada di perpustakaan penjara. Bahkan, ia ikut berbagai kursus korespondensi.
Pada tahun 1948, adiknya Reginald menyatakan bisa mengeluarkan Malcolm dari penjara dengan syarat ia berhenti merokok dan berhenti makan daging babi. Reginald berusaha mengislamkan Malcolm dan mengajaknya masuk ke dalam barisan Back Muslims atau The Nation of Islam yang didirikan oleh Elijah Muhammad.
Ajaran Elijah Muhammad menarik minat Malcolm yang mengaku dirinya atheis. Ia setuju masuk The Nation of Islam yang bertujuan memisahkan ras kulit hitam dari ras kulit putih. Bahkan, Malcolm percaya betul dengan ajaran Elijah bahwa orang kulit putih bertabiat jahat dan tidak bisa dipercaya. Sebagai tanda keanggotaan, ia memakai nama Malcolm X. X adalah simbol yang dipakai pengikut Black Muslims untuk menyatakan bahwa mereka adalah generasi yang hilang. Manusia yang tercerabut dari asal-usulnya akibat perdagangan manusia yang dilakukan oleh orang kulit putih. Mereka diculik dari Afrika, dibawa dan dijual di Amerika sebagai budak.
Tahun 1952 Malcolm bebas bersyarat. Ia bekerja di pabrik mobil dan tinggal bersama kakaknya, Wilfred, yang juga anggota Black Muslims. Kemudian ia menemui Elijah Muhamamad di Chicago. Malcolm belajar Islam dan ajaran The Nation of Islam langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasikan sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.
Selama sepuluh tahun kemudian The Nation of Islam berkembang pesat. Masjid bertambah sebagaimana bertambahnya pengikutnya. The Nation of Islam menjadi gerakan nasional berpengaruh. Malcolm menjadi juru bicara utama gerakan pemisahan warga kulit hitam dari warga kulit putih yang dicita-citakan Elijah Muhammad.
Tahun 1958 Malcolm menikahi Betty X. Dari pernikahan selama 7 tahun mereka dikaruniai 4 orang anak: Attilah, Qubilah, Illyasah, dan Amiliah.
Tahun 1959 gerakan The Nation of Islam dikenal secara nasional. Malcolm X pun mendapat publikasi yang luar biasa, melebihi Elijah Muhammad sang pendiri. Bahkan, media massa menyebut Malcolm X sebagai simbol kebencian rasial.
Elijah khawatir akan popularitas Malcolm X. Ia tak ingin pengaruh Malcolm semakin kuat. Karena itu, ia menarik dukungan. Ketika hubungan mereka semakin renggang, Elijah memecat Malcolm X dari The Nation of Islam. Bahkan, ia memerintahkan orang untuk membunuh Malcolm X.
Setelah keluar dari The Nation of Islam, Malcolm X mendirikan organisasinya sendiri. Ia juga melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Di Tanah Suci terbukalah cakrawala pikirannya. Ia baru tahu ajaran Islam yang sesungguhnya. Kebencian terhadap ras kulit putih adalah pemikiran yang keliru. Islam tidak membeda-bedakan warna kulit.
Kebencian yang timbul antara kaum negro dan kaum kulit putih di Amerika bukanlah masalah perbedaan warna, tetapi karena kesalahan sikap dan perilaku. Karena itu, Malcolm X sadar bahwa satu-satunya cara mengatasi pertikaian rasial adalah dengan menerima prinsip kesamaan derajat manusia dan keesaan Tuhan. Inilah kebenaran yang diabaikan oleh bangsa kulit putih Amerika.
Setelah berhaji dengan penuh kontemplasi, Malcolm X bersalin nama menjadi El Hajj Malik El Syabazz. Selama menjadi tamu pribadi Pangeran Faisal, Malik El Syabazz banyak berdiskusi tentang perbandingan ajaran Elijah Muhammad dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Ia sadar betul ajaran Elijah keliru. Selama berhaji ia merasa dirinya sebagai manusia yang utuh. Itu perasaan yang tidak pernah dirasakannya selama hidup di negerinya, Amerika. Di Mekkah semua orang saling menghargai dan tidak mempermasalahkan warna kulit.
Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malik El Syabazz menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K. Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik muslim dan non-muslim.
Sepulangnya ke Amerika, ia punya perspektif yang berbeda dari sebelumnya. Ia kembali melakukan dakwahnya. Kali ini ia menyerukan kebenaran sejati yang ditemukannya di Mekkah. Kepada teman-temannya yang beragam –ada Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Atheis, sosialis, kapitalis, komunis, kaum moderat, konservatif, dan ekstremis-ia katakan manusia akan memperoleh kedamaian sejati jika mau menyerahkan diri kepada Allah Sang Pencipta.
Namun, perubahan pemikiran itu bukan tanpa risiko. Malik El Syabazz dibayang-bayangi orang yang ingin membunuhnya. Khususnya orang-orang dari The Nation of Islam. Pada hari Ahad, 21 Februari 1965, Malik El Syabazz terbunuh. Tiga orang yang duduk dekat panggung menembaknya saat ia berpidato di sebuah pertemuan organisasi persatuan orang-orang Amerika Hitam di Harlem. Malik El Syabazz menghadap Allah swt. sebagai seorang muslim yang tercerahkan.